Tuesday, September 25, 2012

Kesalahan Konsep Takdir: Pasrah yang Salah Kaprah atau Usaha Semata? (Refleksi Perkuliahan II)


Metode hidup dalam filsafat adalah metode menterjemahkan dan diterjemahkan antara unsur-unsurnya yang ada dan yang mungkin ada di dalam keseimbangan. Hidup sukses adalah keseimbangan di dalam segenap unsurnya. Akan tetapi, manusia hanya bisa menggapai, Tuhan-lah yang menentukan. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa “Man proposes, God disposes”. Untuk itulah manusia memerlukan keikhlasan dalam menerima dan menjalani takdir yang terjadi pada kehidupannya.
Pada saat ini, sering terjadi kesalahpahaman dalam mengartikan “takdir”. Dalam kesalahpahaman ini, ada dua pendapat yang berbeda, atau lebih tepatnya bertolak belakang satu sama lain. Kesalahpahaman yang pertama yaitu mereka yang menganggap bahwa takdir berlaku 100 %, tanpa adanya suatu usaha. Orang-orang yang termasuk golongan ini merupakan orang-orang yang pasrah dalam artian salah kaprah. Mereka bukannya pasrah, akan tetapi mereka telah menyatakan menyerah pada takdir. Dalam agama Islam, definisi pasrah adalah adalah tawakal, jadi manusia sudah berusaha semaksimal mungkin, setelah itu, baru menyerahkan segala keputusan kepada sang Khaliq. Pada kesempatan ini, saya mengutip salah satu potongan ayat dalam Al Qur’an, surat Ar Ra’du ayat 11 yang berbunyi: "…Innallaha laa yughoyyiru maa biqaumin hattaa yughoyyiruu maa bi anfusihim", yang artinya: “…Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”.
Golongan kedua adalah mereka yang beranggapan bahwa usaha lah yang 100 % menentukan keberhasilan mereka. Mereka adalah golongan materialis yang tidak mengakui “campur tangan” Tuhan dalam keberhasilan mereka. Orang-orang ini dikhawatirkan, jika mereka gagal dalam mencapai tujuannya (keinginannya), ketika mereka putus asa, dan tidak ada tempat untuk mengadu, mereka frustasi, stress, dan tidak menutup kemungkinan mereka akan bunuh diri. Padahal kegagalan itu sendiri adalah bagian dari kehidupan. Don't be afraid to try. Stumble and fall are a part of a life. There is nothing we can do when we fall except to rise up and try to walk, even though it's difficult. However, it's difficult but not impossible, is it?
Keinginan manusia memang tiada batas, namun demikian, kemampuan manusia sangatlah terbatas, sehingga apa yang diperolehnya dibatasi  pada apa yang menjadi kebutuhannya saja. Terkadang Tuhan tidak memberikan apa yang kita inginkan, tetapi Dia Maha Mengetahui apa yang kita butuhkan. Dia ingin menguji seberapa besar cinta kita kepadanya dengan berbagai macam ujian hidup. Ujian hidup yang kita jalani sebenarnya sudah terukur, dan telah diukur sendiri oleh “Yang Maha Menghitung (Al Khasiibu)“, sehingga ujian hidup yang terjadi dalam hidup kita sudah sesuai dengan takaran kita sebagai manusia. Dalam potongan ayat Al Qur’an, surat Al Baqarah ayat 286 berbunyi: “Laa yukalifullaahu nafsan illaa wus`ahaa”, yang artinya: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”.
Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa, dalam menjalani kehidupan, harus ada keseimbangan antara usaha dan keyakinan terhadap takdir manusia. Setelah manusia berusaha maksimal, pasrahkan kepada-Nya, segala sesuatu yang akan terjadi adalah yang terbaik bagi manusia, entah manusia itu gagal ataukah berhasil sesuai dengan keinginan manusia tersebut. The last quotes from me is: “Not always what we get is what we want. Not always what we want is what we need. However, what we get is what we need. Even though we don’t know about it, until the future becomes the now”.

Friday, September 14, 2012

Filsafat Tanpa Spiritual, Layaknya Kapal Tanpa Nahkoda



Filsafat adalah ilmu untuk olah pikir, akan tetapi jika manusia dalam berpikir hanya menggunakan logikanya saja, dia seenaknya, dalam artian dia dalam menggunakan pikirannya tidak ada batasan, maka ada tiga kemungkinan yang akan terjadi pada manusia itu, yaitu dia akan menjadi atheis, dia akan terjebek dalam kebingungan, atau jika sudah berada pada titik yang sangat parah, tidak menutup kemungkinan dia bisa menjadi gila. Untuk itu, dalam berpikir, manusia perlu empat batasan yang harus ada, yaitu: Spiritual, Normatif, Formal, dan Material.
Pada artikel ini, saya lebih tertarik untuk membahas hal spiritual, karena berdasarkan pengalaman saya, pernah ada seorang teman yang menanyakan kepada saya tentang konsep keberadaan Tuhan, dan pada awalnya, saya tidak bisa memberikan jawaban yang sesuai dengan apa yang dia inginkan. Dia menanyakan: “Kenapa Tuhan itu ada?” saya menjawab: “Tuhan ada untuk mengatur alam semesta, jika Tuhan tidak ada, maka alam semesta akan hancur”. Dia masih menimpali dengan pertanyaan lanjutan: “Bukankah alam semester punya autoregulasi?”. Saya menjawab lagi: “Yang menciptakan autoregulasi adalah Tuhan itu sendiri”. Akan tetapi dia masih belum puas dengan jawaban tersebut, dan melanjutkan ke pertanyaan yang jika dijawab hanya akan menimbulkan suatu pertanyaan baru dan berputar-putar tanpa alur yang jelas. Karena pada diskusi pertama, saya merasa dia belum cukup puas dengan jawaban saya, saya mencoba mencari jawaban. Dan setelah beberapa saat, terlintas pada pikiran saya tentang mata kuliah geometri analitik ruang tentang konsep titik sebagai definisi pangkal. Mungkin itu adalah suatu petunjuk yang diberikan Tuhan kepada saya.
Suatu saat, saya bertemu lagi dengan teman saya dan akhirnya, saya mencoba menjelaskan dengan konsep titik sebagai definisi pangkal tersebut. Saya ambil salah satu contoh bangun ruang, pada saat itu adalah kubus. Saya jelaskan satu persatu dari definisi kubus dan komponen pembentuknya, yaitu: bidang, garis, dan titik. Dalam menjelaskan, saya memberikan pertanyaan, kemudian saya jawab sendiri pertanyaan itu. Kurang lebihnya, penjelasan saya sebagai berikut:
Kubus itu apa? kubus adalah bangun ruang yang dibatasi oleh enam buah persegi.
Persegi itu apa? persegi adalah suatu luasan yang dibatasi empat garis yang sama panjang.
Garis itu apa? garis adalah kumpulan titik-titik yang memiliki panjang tertentu dengan jarak antara dua titik yang paling dekat sama dengan atau mendekati nol.
Kemudian saya bertanya kepada teman saya: Sekarang titik itu apa?, apakah seperti ini? (sambil menggambarkan titik pada sebuah kertas). Itu hanyalah lambang dari sebuah titik. Titik dalam geometri adalah definisi pangkal, yang tidak dapat dijelaskan, bahkan, ilmuwan geometri hingga saat ini belum menemukan definisi dari sebuah titik, akan tetapi titik harus ada dalam ilmu geometri. Begitu juga keberadaan Tuhan yang tidak dapat dijelaskan dengan hanya menggunakan logika, namun Dia harus ada.
Kesimpulan yang dapat saya ambil adalah, bahwa semua ilmu (bukan hanya filsafat saja), perlu ada sesuatu yang membatasinya, agar tidak keluar dari koridor yang seharusnya. Salah satu yang membatasinya adalah spiritual/agama/iman/keyakinan. Dapat dikatakan bahwa, agama adalah nahkoda bagi kapal yang bernama ilmu, keduanya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Pada kesempatan ini, saya mengutip pernyataan seorang filsuf terkenal, Albert Einsten:

Science without religion is lame
(Ilmu tanpa Agama Lumpuh)
Religion without science is blind
(Agama tanpa Ilmu Buta)