Secara
hisoris kelahiran dan perkembangan pemikiran Yunani Kuno (sistem berpikir)
tidak dapat dilepaskan dari keberadaan kelahiran dan perkembangan filsafat,
dalam hal ini adalah sejarah filsafat.
A. Filsafat Beraliran
Tetap (Tesis)
Tokoh-tokoh
dalam filsafat beraliran tetap antara lain:
1. Parmenides (540 –
470 SM)
Parmenides adalah
seorang filsuf mazhab Elea. Di dalam Mazhab Elea, Parmenides merupakan tokoh
yang paling terkenal. Pemikiran filsafatnya bertentangan dengan Heraklitos
sebab ia berpendapat bahwa sesuatu “yang ada” tidak berubah.
Parmenides menuliskan
filsafatnya dalam bentuk puisi. Ada ratusan baris puisi Parmenides yang masih
tersimpan hingga kini. Puisi Parmenides terdiri dari prakata dan dua bagian.
Dua bagian tersebut masing-masing berjudul “Jalan Kebenaran” dan “Jalan
Pendapat”. Bagian prakata dan “Jalan Kebenaran” tersimpan 111 ayat, sedangkan
bagian kedua, “Jalan Pengetahuan”, tersimpan sebanyak 42 ayat.
Inti utama dari “Jalan
Kebenaran” adalah keyakinan bahwa “hanya ‘yang ada’ itu ada”. Menurut Parmenides,
“yang ada” adalah kebenaran yang tidak mungkin disangkal. Bila ada yang
menyangkalnya, maka ia akan jatuh pada kontradiksi. Hal itu dapat dijelaskan
melalui pengandaian Permenides. Pertama, orang dapat mengatakan bahwa “yang ada”
itu tidak ada. Kedua, orang dapat mengatakan bahwa “yang ada” dan “yang tidak
ada” itu bersama-sama ada. Pengandaian pertama mustahil, sebab “yang tidak ada”
tidak dapat dipikirkan dan tidak dapat dibicarakan. Pengandaian kedua merupakan
pandangan dari Heraklitos, juga mustahil, sebab pengandaian kedua menerima
pengandaian pertama, padahal pengandaian pertama terbukti mustahil.
Kesimpulannya adalah “Yang tidak ada” itu tidak ada, sehingga hanya “yang ada”
yang dapat dikatakan ada.
Misalnya seseorang
menyatakan “Tuhan tidak ada”. Tuhan, yang eksistensinya ditolak orang itu
sebenarnya ada, maksudnya harus diterima sebagai dia “yang ada”. Hal ini karena
bila orang itu mengatakan “Tuhan itu tidak ada”, maka orang itu sudah terlebih
dulu memikirkan suatu konsep tentang Tuhan. Setelah itu, konsep Tuhan yang
dipikirkan orang itu disanggah oleh dirinya sendiri dengan menyantakan ‘Tuhan
itu tidak ada”. Dengan demikian, Tuhan sebagai yang dipikirkan oleh orang itu “ada”
walaupun hanya di dalam pikirannya sendiri. Sedangkan penolakan terhadap
sesuatu, pastilah mengendalikan bahwa sesuatu itu “ada” sehingga “yang tidak
ada’ itu tidak mungkin. Oleh karena “yang ada” itu selalu dapat dikatakan dan
dipikirkan, sebenarnya Parmenides menyamakan “yang ada” dengan pemikiran atau
akal budi.
Parmenides menyatakan
konsekuensi-konsekuensinya, setelah berargumentasi mengenai “yang ada” sebagai
kebenaran.
a. Pertama, “yang ada” adalah satu dan tak
terbagi, sedangkan pluralitas tidak mungkin. Hal ini dikearenakan tidak ada
sesuatu pun yang dapat memisahkan “yang ada”.
b. Kedua, “yang ada” tidak dijadikan dan tidak
dapat dimusnahkan. Dengan kata lain, “yang ada” bersifat kekal dan tak
terubahkan. Hal itu merupakan konsekuensi logis, sebab bila “yang ada” dapat
berubah, maka “yang ada” dapat menjadi tidak ada atau “yang tidak ada” dapat
menjadi ada.
c. Ketiga, harus dikatakan bahwa “yang ada” itu
sempurna, seperti sebuah bola yang jaraknya dari pusat ke permukaan semuanya
sama. Merurut Parmenides, “yang ada” itu bulat sehingga mengisi semua tempat.
d. Keempat, karena “yang ada” mengisi semua empat,
maka disimpulkan bahwa tidak ada ruang kosong. Jika ada ruang kosong, artinya
menerima bahwa di luar “yang ada” masih ada sesuatu yang lain. Konsekuensi
lainnya adalah gerak menjadi tidak mungkin sebab bila benda bergerak artinya benda
menduduki tempat yang tadinya kosong.
Pemikiran Parmenides
membuka babak baru dalam sejarah filsafat Yunani. Dapat dikatakan, dialah
penemu merafisika, cabang filsafat yang menyelidiki “yang ada”. Filsafat di
masa selanjutnya akan bergumul dengan masalah-masalah yang dikemukakan
Parmenides, yakni bagaimana pemikiran atau rasio dicocokkan dengan data-data
inderawi. Plato dan Aristeteles adalah filsuf-filsuf yang memberikan pemecahan
untuk masalah-masalah tersebut.
2. Plato (427– 347 SM)
Plato adalah seorang
filsuf dan matematikawan Yunan, dan pendiri Akademi Platonik di Athena, sekolah
tinggi pertama di dunia Barat. Ia adalah murid Socrates. Plato adalah guru dari
Aristoteles.
Plato mendukung ajaran
Parmenides yang menganggap segala sesuatu itu tetap. Namun, plato juga memiliki
paham Idealisme yaitu paham filsafat yang memandang mental dan ideal sebagai
kunci ke hakikat realitas. Paham idealisme lebih menekankan hal-hal bersifat
ide, dan merendahkan hal-hal yang bersifat materi dan fisik. Ajaran Plato
mengenai ide ada dua, yaitu:
a. Dunia ide-ide yang hanya terbuka bagi rasio
(Dunia Rasional/Dunia Rohani)
Dalam dunia ini tidak
ada perubahan, semua ide bersifat abadi dan tidak dapat diubah. Hanya ada satu
ide “yang bagus”, “yang indah”. Di dunia ide semuanya sangat sempurna. Hal ini
tidak hanya merujuk kepada barang-barang kasar yang bisa dipegang saja, tetapi
juga mengenai konsep-konsep pikiran, hasil buah intelektual.
b. Dunia jasmani yang hanya terbuka bagi panca
indera (Dunia Indrawi).
Dunia indrawi adalah
dunia yang mencakup benda-benda jasmani yang konkret, yang dapat dirasakan oleh
panca indera kita. Dunia indrawi ini tiada lain hanyalah refleksi (bayangan)
dari dunia ideal. Selalu terjadi perubahan dalam dunia indrawi. Segala sesuatu
yang terdapat dalam dunia jasmani ini fana, dapat rusak, dan dapat mati.
3. Rene Descartes (1596 – 1650)
Descartes, kadang
dipanggil “Penemu Filsafat Modern” dan “Bapak Matematika Modern”, adalah salah
satu pemikir paling penting dan berpengearuh dalam sejarah barat modern.
Pemikirannya membuat sebuah revolusi falsafi di Eropa karena pendapatnya yang
revolusioner bahwa semuanya tidak ada yang pasti, kecuali kenyataan bahwa
seseorang bisa berpikir. Dalam bahasa Latin, kalimat ini adalah: cogito ergo sum, dalam bahasa Perancis: Je pense donc je suis, sedangkan dalam
bahasa Inggris: I think, therefore I am,
yang ketiganya memiliki arti: “Aku berpikir maka aku ada”,
Pahamnya yang terkenal
adalah Analityc Apriori dengan unsur
dasarnya adalah konsisten dan dasar hukumnya adalah Identitas. Karya filsafat
Descartes dapat dipahami dalam bingkai konteks pemikiran pada masanya, yakni
adanya pertentangan antara Scholasticism
dengan keilmuan baru Galilean-Copernican. Atas dasar tersebut ia dengan misi
filsafatnya berusaha mendapatkan pengetahuan yang tidak dapat diragukan.
Metodenya ialah dengan meragukan semua pengetahuan yang ada, yang kemudian
mengentarkannya kepada kesimpulan bahwa pengetahuan yang ia kategorikan ke
dalam tiga bagian dapat diragukan, yaitu:
a. Pengetahuan yang berasal dari pengalaman
indrawi dapat diragukan, misalnya ketika memasukkan kayu lurus ke dalam air,
maka kayu akan terlihat bengkok.
b. Fakta umum tentang dunia, misalnya api itu
panas dan benda yang berat akan jatuh juga dapat diragukan. Descrates
menyatakan bagaimana jika kita mengalami mimpi yang sama berkali-kali dan dari
situ kita mendapatkan pengetahuan umum tersebut.
c. Logika dan matematika, prinsip-prinsip logika
dan matematika juga ia ragukan. Ia menyatakan bagaimana jika ada suatu mahluk
yang berkuasa memasukkan ilusi dalam pikiran kita, dengan kata lain kita berada
dalam suatu matriks.
Dari keraguan tersebut,
Descartes mencari pengetahuan yang tidak dapat diragukan. Baginya eksistensi
pikiran manusia adalah sesuatu yang absolut dan tidak dapat diragukan. Sebab
meskipun pemikirannya tentang sesuatu yang salah, pikirannya tertipu oleh suatu
matriks, ia ragu akan segalanya, tidak dapat diragukan lagi bahwa pikiran itu
sendiri eksis (ada). Pikiran sendiri bagi Descartes ialah suatu benda berpikir
yang bersifat mental (res cogitans)
bukan bersifat fisik atau material. Dari prinsip awal bahwa pikiran itu eksis,
Descartes melanjutkan filsafatnya untuk membuktikan bahwa Tuhan dan benda-benda
itu ada.
Filsafat Descartes
membuktikan bahwa Tuhan itu ada dan kemudian membuktikan bahwa benda material
ada. Descartes mendasarkan akan adanya Tuhan pada prinsip bahwa sebab harus
lebih besar, sempurna, baik dari akibat. Dalam piiran Descrates ia memiliki
suatu gagasan tentang Tuhan adalah suatu mahluk sempurna yang tek terhingga.
Gagasan tersebut tidak mungkin disebabkan oleh pengalaman dan pikiran diri
sendiri, karena kedua hal tersebut merupakan sesuatu yang tidak sempurna dan
dapat diragukan sehingga tidak memenuhi prinsip sebab lebih sempurna dari
akibat. Gagasan tentang Tuhan yang ada dalam kepala (sebagai akibat) hanya bisa
disebabkan oleh sebuah mahluk sempurna yang menaruhnya dalam pikiran saya,
yakni Tuhan
Setelah membuktikan
eksistensi Tuhan, Descartes membuktikan eksistensi benda material. Ia
menyatakan bahwa Tuhan menciptakan manusia dengan ketidakmampuan duntuk
membuktikan bahwa benda maerial itu sejatinya tidak ada. Bahkan Tuhan menciptakan
manusia untuk memiliki kecenderungan pemahaman bahwa benda material itu eksis.
Apabila pemahaman benda material eksis hanya merupakan sebuah matriks kompleks
yang menipu pikiran manusia, itu berarti Tuhan adalah penipu, dan bagi
Descartes penipu adalah ketidaksempurnaan. Padahal Tuhan ialah mahluk yang
sempurna, oleh karena itu, Tuhan tidak mungkin menipu, sehingga benda material
itu pastilah ada.
B. Filsafat Beraliran Berubah (Antitesis)
Tokoh-tokoh pada aliran
ini antara lain:
1. Herakleitos (540 – 480 SM)
Herakleitos adalah
seorang filsuf yang tidak tergolong mazhab apapun.Di dalam tulisannya, ia
justru mengkritik dan mencela para filsuf dan tokoh-tokoh seperti Homerus,
Arkhilokhos, Hesiodos, Phythagoras, Xenophanes, dan Hekataios.
Pemikiran Herakleitos
yang paling terkenal adalah mengenai perubahan-perubahan di alam semesta.
Menurut Herakleitos, tidak ada satu pun hal di alam semseta yang bersifat tetap
atau permanen. Tidak ada sesuatu yang berul-betul “ada”, semuanya berada di
dalam proses “menjadi”. Ia terkenal dengan ucapannya panta rhei kai uden menei yang berarti, “semuanya mengalir dan
tidak ada sesuatupun yang tinggal tetap.
Perubahan yang tidak
ada henti-hentinya itu dibayangkan Herakleitos denan dua cara:
·
Pertama, seluruh kenyataan adalah
seperti aliran sungai yang mengalir. “Engkau tidak dapat turun daua kali ke
sungai yang sama”,deikian kata Herakleitos. Maksudnya di sini, air sungai
selalu bergerak sehingga tidak pernah seseorang turun di air sungai yang sama
dengan yang sebelumnya.
·
Kedua, ia menggambarkan seluruh
kenyataan dengan api. Maksud api di sini lain dengan konsep mazhab Miletos yang
menjadikan air atau udara sebagai prinsip
dasar segala sesuatu. Bagi Herakleitos, api bukanlah zat yang dapat
menerangkan perubahan-perubahan segala sesuatu, melainkan melambangkan gerak
perubahan itu sendiri. Api senantiasa mengubah apa saja yag dibakarnya menjadi
abu dan asap, namun api tetaplah api yang sama. Karena itu, api cocok untuk
melambangkan kesatuan dalam perubahan.
2. Aristoteles (384 – 322 SM)
Aristoteles adalah
seorang filsuf
Yunani,
murid dari Plato
dan guru dari Alexander yang Agung. Ia menulis berbagai
subyek yang berbeda, termasuk fisika, metafisika, puisi, logika, retorika, politik, pemerintahan, etnis, biologi
dan zoologi. Bersama dengan Socrates
dan Plato,
ia dianggap menjadi seorang di antara tiga orang filsuf yang paling berpengaruh
di pemikiran Barat.
Aristoteles memiliki paham Realis
yaitu paham bahwa hakekat suatu benda itu bukan terletak pada ide/pikiran melainkan
pada obyek nyata benda itu sendiri
(pendapat ini sangat berlawanan dengan Plato).
Ajaran Aristoteles juga telah
mengarah pada pengakuan adanya TUHAN. Menurut Aristoteles, suatu gerakan atau
proses perkembangan dalam jagad raya tidak mempunyai awal dan akhir dalam waktu
maka alam semesta abadi sifatnya. Namun, karena sesuatu yang bergerak itu
digerakkan oleh penggerak yang lain, perlu diterima satu Penggerak Pertama yang
tidak digerakkan oleh Penggerak lain, yaitu TUHAN.
Aristoteles juga membagi
cabang ilmu menjadi 3 bagian, yaitu :
a.
Ilmu Pengetahuan Praktis (Etika dan Ilmu
Politik)
b.
Ilmu Pengetahuan Produktif menyangkut
pengetahuan yang sanggup menghasilkan suatu karya/produk jadi (ilmu teknik,
kesenian)
c.
Ilmu Pengetahuan Teoritis (Fisika, Matematika,
dan Metafisika (yang telah disebutkan di atas).
Namun, di luar ketiga
pengetahuan di atas, masih ada Logika (Penalaran Tepat). Ajaran Logika
Aristoteles yang sampai sekarang masih digunakan adalah ajaran mengenai
Induksi, Deduksi, dan Silogisme. Induksi adalah metode pemikiran yang
menghasilkan pengetahuan tentang yang umum dengan bertolak dari hal-hal khusus,
sedangkan Deduksi adalah sebaliknya yakni metode pemikiran yang khusus dengan
bertitik tolak dari hal umum, Salah satu contoh dari Metode Deduksi adalah
Silogisme, yakni pengambilan kesimpulan berdasarkan dua pernyataan yang telah diberitahukan
sebelumnya. Misalnya :
Premis Mayor : Semua manusia
akan mati
Premis Minor : Budi adalah
seorang manusia
Kesimpulan : Maka Budi akan mati
Aristoteles dikenal sebagai
Bapak Ilmu Pengetahuan karena merupakan Filsuf pertama yang mengajarkan tentang
rasionalitas ilmu pengetahuan dan dasar-dasar pemikirannya hingga saat ini
masih terus digunakan dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan.
3. David Hume (1711-1776)
Hume merupakan filsuf
besar pertama dari era modern yang membuat filosofi naturalistis. Inti
ajaran David Hume pada dasarnya sama dengan Aristoteles yaitu menekankan pada Berpikir (ide). Akan tetapi, teori
Berpikir ala David Hume berdasarkan pada suatu pengalaman seseorang yang
disebut teori Empiricism dengan unsur
dasar Synthetic Aposteriori (bisa
berpikir kalau sudah melihat). Synthetic
Aposteriori berlawanan arah dengan Analytic
Apriori atau bisa dikatakan bahwa pendapat David Hume berlawanan dengan
Rene Descartes.
Aliran Empiris adalah aliran
yang berpandangan bahwa pengetahuan secara keseluruhan/parsial didasarkan
kepada pengalaman yang menggunakan indera. Secara terminologis, Empirisme
adalah doktrin bahwa sumber seluruh pengetahuan harus dicari dalam pengalaman,
pandangan bahwa semua ide merupakan abstraksi yang dibentuk dengan
menggabungkan apa yang dialami, pengalaman indrawi adalah satu-satunya sumber
pengetahuan, dan bukan akal. Aliran ini memegang teguh prinsip bahwa
pengetahuan manusia dapat diperoleh lewat pengalaman, misalnya : “Mengapa kita
takut jika masuk ke dalam kandang Harimau?” karena Harimau adalah binatang buas
dan berbahaya (pengalaman menurut seseorang yang pernah diterkam Harimau atau
pengalaman seseorang yang pernah bertemu dengan Harimau).
David Hume juga sebagai
penggagas Ruang dan Waktu dalam Filsafat. Gagasan mengenai waktu berasal dari
urutan kesan terhadap suatu hal. Misalnya kita melihat buah mangga jatuh dari
pohon yang asalnya berada pada dahan, lalu buah itu jatuh di atas tanah. Pada
saat itu kita melihat ada urutan kesan waktu mengenai buah mangga (pada
mulanya) dan kemudian berada di atas tanah. Pada saat itulah gagasan mengenai
waktu terbentuk dalam imajinasi kita. Gagasan mengenai ruang berkaitan dengan
luas (ukuran). Ide ruang dihasilkan oleh indra penglihatan dan penyentuh.
Ketika kamu melihat mangga jatuh dibawah pohon sana, kesan kamu mengatakan
bahwa mangga itu benar-benar ada. Pada saat itulah imajinasi kita menemukan
gagasan mengenai ada di sana itulah ruang. Lewat dua pendapat di atas, Hume
menentang semua pikiran dan gagasan yang tidak dapat dilacak dengan persepsi
indera.
Diantara perjalanan Filsafat
Aliran Tetap dan Filsafat Aliran Berubah, lahir beberapa temuan dan paradigma
baru dalam bidang ilmu yang tokoh-tokohnya meliputi : Nicolaus Copernicus
(pahamnya Heliocentris yaitu : Menetapkan matahari sebagai pusat Tata Surya
(bukan bumi)), Galileo Galilei (penemu Hukum Gerak dan Kecepatan), Newton
(penemu Hukum Alam dan Titik Didih Air) dan masih banyak lagi lainnya dimana
beberapa ilmuwan berikut mematahkan pendapat kuno dari Gereja (Zaman Kegelapan)
yang beranggapan tentang mitos-mitos dewa-dewa dan menganggap “Bumi sebagai
pusat dari tata surya”.
Dari pertentangan antara
paham Rene Descartes dan David Hume yang terlihat dari filsafat aliran tetap
dan aliran berubah di atas, Immanuel Kant mencoba untuk mensintesiskan keduanya
sehingga membentuk suatu paham Synthetic
Apriori yaitu Filsafat Lengkap berdasarkan gabungan antara Synthetic Aposteriori dengan Analytic Apriori. Inti paham Immanuel
Kant dikenal dengan Kritisisme atau Filsafat Kritis, suatu nama yang
diberikannya sendiri. Kritisisme adalah filsafat yang memulai perjalanannya
dengan terlebih dulu menyelidiki kemampuan rasio dan batas-batasnya. Kritisisme
terdiri atas 3 bagian, yaitu :
1) Kritik
atas Rasio Murni
Dalam kritik ini, antara lain Kant menjelaskan
bahwa ciri pengetahuan adalah bersifat umum, mutlak dan memberi pengertian
baru. Untuk itu ia terlebih dulu membedakan adanya tiga macam putusan. Pertama, putusan analitis a
priori; di mana predikat tidak menambah sesuatu yang baru pada
subjek, karena sudah termuat di dalamnya (misalnya, setiap benda menempati
ruang). Kedua, putusan sintesis aposteriori,
misalnya pernyataan “meja itu bagus” di sini predikat dihubungkan
dengan subjek berdasarkan pengalaman indrawi, karena dinyatakan setelah mempunyai
pengalaman dengan aneka ragam meja yang pernah diketahui. Ketiga, putusan
sintesis a priori: di sini dipakai sebagai suatu sumber
pengetahuan yang kendati bersifat sintetis, namun bersifat a
priori juga. Misalnya, putusan yang berbunyi “segala kejadian
mempunyai sebabnya”. Putusan ini berlaku umum dan mutlak (jadi a
priori), namun putusan ini juga bersifat sintetis dan aposteriori.
Sebab di dalam pengertian “kejadian” belum dengan sendirinya tersirat
pengertian “sebab”. Maka di sini baik akal maupun pengalaman indrawi dibutuhkan
serentak. Ilmu pasti, mekanika, dan ilmu pengetahuan alam disusun atas putusan
sisntetis yang bersifat a priori ini. Menurut Kant, putusan
jenis ketiga inilah syarat dasar
bagi apa yang disebut pengetahuan (ilmiah) dipenuhi, yakni bersifat umum dan
mutlak serta memberi pengetahuan baru. Persoalannya adalah bagaimana terjadinya
pengetahuan yang demikian itu?. Menjawab pertanyaan ini Kant menjelaskan bahwa
pengetahuan itu merupakan sintesis dari unsur-unsur yang
ada sebelum pengalaman yakni unsur-unsur a priori dengan
unsur-unsur yang ada setelah pengalaman yakni unsur-unsur aposteriori.
Proses sintesis itu, menurut Kant terjadi dalam tiga tingkatan pengetahuan
manusia yaitu pencerahan indrawi (sinneswahrnehmung), lalu tingkat
akal budi (verstand), dan tingkat tertinggi adalah tingkat
rasio/intelek (Versnunft).
2) Kritik
atas Rasio Praktis
Apabila kritik atas rasio murni memberikan
penjelasan tentang syarat-syarat umum dan mutlak bagi pengetahuan
manusia, maka dalam “kritik atas rasio praktis” yang dipersoalkan adalah
syarat-syarat umum dan mutlak bagi perbuatan susila. Kant coba memperlihatkan
bahwa syarat-syarat umum yang berupa bentuk (form) perbuatan
dalam kesadaran itu tampil dalam perintah (imperatif). Kesadaran
demikian ini disebut dengan “otonomi rasio praktis” (yang dilawankan dengan
heteronomi). Perintah tersebut dapat tampil dalam kesadaran dengan dua cara,
subyektif dan obyektif. Maxime (aturan pokok) adalah
pedoman subyektif bagi perbuatan orang perseorang (individu), sedangkan imperatif
(perintah) merupakan azas kesadaran obyektif yang mendorong kehendak untuk
melakukan perbuatan. Imperatif berlaku umum dan niscaya, meskipun ia dapat
berlaku dengan bersyarat (hepotetik) atau dapat juga tanpa syarat (kategorik). Imperatif
kategorik tidak mempunyai isi tertentu apapun, ia merupakan kelayakan formal.
Menurut Kant, perbuatan susila adalah perbuatan yang bersumber pada kewajiban
dengan penuh keinsyafan. Keinsyafan terhadap kewajiban merupakan sikap hormat
(achtung). Sikap inilah penggerak sesungguhnya perbuatan manusia.
3) Kritik atas Daya Pertimbangan
Konsekuensi dari
“kritik atas rasio murni” dan “kritik atas rasio praktis” menimbulkan adanya
dua kawasan tersendiri, yaitu kawasan kaperluan mutlak di bidang alam dan
kawasan kebebasan di bidang tingkah laku manusia. Adanya dua kawasan itu, tidak
berarti bertentangan atau dalam tingkatan. Kritik atas Daya Pertimbangan (Kritik
der Urteilskraft), dimaksukkan oleh Kant, adalah mengerti persesuaian
kedua kawasan itu. Hal itu terjadi dengan menggunakan konsep finalitas
(tujuan). Finalitas bisa bersifat subjektif dan objektif. Kalau finalitas
bersifat subjektif, manusia mengarahkan objek pada diri manusia sendiri. Inilah
yang terjadi dalam pengalaman estetis (kesenian). Dengan finalitas yang
bersifat objektif dimaksudkan keselarasan satu sama lain dari benda-benda alam.
C. Filsafat Modern
Tokohnya adalah
Augusta Comte dengan aliran Positivisme. Aliran ini sebagai antitesis Filsafat
Yunani yaitu mengembangkan keilmuan yang telah ada sebelumnya. Penjelasan Comte
tentang filosofi yang positif memperkenalkan hubungan yang penting antara
teori, praktik dan pemahaman manusia dunia. Comte merumuskan Hukum Tiga Fase,
yaitu : Teologi, Metafisika, dan tahap positif (atau sering juga disebut
"tahap ilmiah").
Fase Teologi
dilihat dari prespektif abad ke-19 sebagai permulaan abad pencerahan, dimana
kedudukan seorang manusia dalam masyarakat dan pembatasan norma dan nilai
manusia didapatkan didasari pada perintah Tuhan. Meskipun memiliki sebutan yang
sama, fase Metafisika Comte sangat berbeda dengan teori Metafisika yang
dikemukakan oleh Aristoteles atau ilmuwan Yunani kuno lainnya; pemikiran Comte
berakar pada permasalahan masyarakat Perancis pasca Revolusi Perancis. Fase Metafisika
ini merupakan justifikasi dari "hak universal" sebagai hak pada suatu
wahana yang lebih tinggi dibanding otoritas tentang segala penguasa manusia
untuk membatalkan perintah lalu hak/ kebenaran tidaklah disesuaikan kepada yang
suci di luar semata-mata kiasan. Apa yang ia mengumumkan dengan istilah nya. Tahap
yang ilmiah, Comte mengembangkan ilmu sosiologi (pasca revolusi perancis).
Sumber :
Acton, HB., Kant’s Moral Philosophy, London, MacMillan, 1970
Bertens, K., Ringkasan Sejarah filsafat, Yogyakarta, Kanisius,
1998/v
Copleston, Frederick, A History of Philosophy, Vol. VI,
London, Search Press, 1960
Mudyahardjo, Drs.Redja. 2002. Filsafat
Ilmu Pendidikan (Suatu Pengantar). Bandung : Remaja Rosdakarya