Tuesday, October 16, 2012

Higher Order Thinking Skills (HOTS)

 Keterampilan berpikir tingkat tinggi atau dikenal dengan istilah Higher Order Thingking Skills (HOTS) pada Taksonomi Bloom, merupakan urutan tingkatan berpikir (kognitif) dari tingkat rendah ke tinggi. Pada ranah kognitifnya, HOTS berada pada level analisis, sintesis dan evaluasi. HOTS pertama kali dimunculkan pada tahun 1990 dan direvisi tahun 1990 agar lebih relevan digunakan oleh dunia pendidikan abad ke-21. HOTS versi lama berupa kata benda yaitu: Pengetahuan, Pemahaman, Terapan, Analisis, Sintesis, Evaluasi. Sedangkan HOTS setelah direvisi menjadi kata kerja: Mengingat, Memahami, Menerapkan, Menganalisis, Mengevaluasi, dan Mencipta.
Menurut Mustaji (2012), definisi berpikir masih diperdebatkan di kalangan pakar pendidikan. Diantara mereka masih terdapat pandangan yang berbeda-beda. Walaupun tafsiran itu berbeda-beda, namun umumnya para tokoh pemikir setuju bahwa pemikiran dapat dikaitkan dengan proses untuk membuat keputusan dan menyelesaikan masalah. Berpikir ialah proses menggunakan pikiran untuk mencari makna dan pemahaman terhadap sesuatu.
Menurut Krulik dan Rudnick (1999) di dalam artikel Idris Harta, keterampilan berfikir terdiri dari empat tingkat, yaitu menghafal (recall thinking), dasar (basic thinking), kritis (critical thinking), dan kreatif (creative thinking).
Keterampilan Menghafal hampir otomatis atau bersifat refleksif. Contoh dari keterampilan ini adalah menghafal perkalian (9x8=72) dan penjumlahan (7+3=10). Menghafal jalan menuju suatu tempat, menghafal sejarah nasional indonesia, juga termasuk dalam keterampilan ini.  Siswa, khususnya pada kelas awal, seringkali dipaksa menghafal fakta-fakta.
Keterampilan berikutnya adalah keterampilan dasar. Keterampilan ini mencakup konsep-konsep seperti penjumlahan, pengurangan, pembagian dan perkalian, termasuk aplikasi dalam soal. Contoh dari konsep pembagian adalah jika diketahui harga 1 pak DVD berisi 100 keping adalah 90.000, siswa disuruh mencari harga satuan setiap keping DVD.
Berfikir kritis menurut Schafersman, S.D. (1991) di dalam Mustaji, adalah berpikir yang benar dalam rangka mengetahui secara relevan dan reliabel tentang dunia. Berpikir kritis, adalah berpikir beralasan, mencerminkan, bertanggungjawab, kemampuan berpikir, yang difokuskan pada pengambilan keputusan terhadap apa yang diyakini atau yang harus dilakukan. Berpikir kritis adalah berpikir mengajukan pertanyaan yang sesuai, mengumpulkan informasi yang relevan, mengurutkan informasi secara efisien dan kreatif, menalar secara logis, hingga sempat pada kesimpulan yang reliabel dan terpercaya.
Berpikir kreatif menurut Mustaji adalah berpikir secara konsisten dan terus-menerus menghasilkan sesuatu ang kreatif/orisinil sesuai dengan keperluan.
Menurut Krulik dan Rudnick (1999), di dalam artikel Idris Harta (2010), untuk mengembangkan berpikir kritis dan kreatif, diperlukan kegiatan-kegiatan lain yang dapat mengembangkan keterampilan berpikir kritis dan kreatif siswa dalam bentuk menjawab pertanyaan-pertanyaan inovatif, yaitu: Adakah Cara lain? (What’s another way?), Bagaimana jika? (What if?), Manakah yang salah? (What’s wrong?), dan Apakah yang akan dilakukan (What would you do?).
1. Adakah Cara lain?
Contoh soal: Pada sebuah kandang ada 30 ekor kambing dan ayam. Jika 8 kambing dan 22 ayam jumlah kakinya ada 76, maka berapakah jumlah kambing dan jumlah ayam pada kandang tersebut?
Jawaban 1:
misal:
jumlah kaki kambing=x
jumlah kaki ayam=y
x+y=30
4x+2y=76

Dengan berbagai cara akan diperoleh jumlah kambing adalah 8 ekor, dan jumlah ayam adalah 22 ekor. Selanjutnya ajukan pertanyaan kemungkinan cara lain untuk mendapatkan jawaban yang sama.

2. Bagaimana jika?
Contoh soal: Budi mengambil lima kartu bilangan bernilai 18, 20, 7, 9, dan 15. Berapakah total nilai kartu-kartu bilangan tersebut? Dengan proses penjumlahan sederhana, diperoleh jawaban 70. Bagaimana jika Budi mengambil lima kartu dengan total nilai 70? kartu manakah yang diambilnya? Tentunya jawaban dari pertanyaan terakhir ini memiliki banyak jawaban, yang memerlukan analisa, bukan sekadar latihan penjumlahan.

3. Manakah yang salah?
Contoh Soal: Pak Muslim membeli sekeping tripleks seharga Rp 125.000. Karena dia minta tripleks tersebut dipotong menjadi 3 bagian yang sama, dia dikenakan biaya Rp 3500 sekali potong. Selanjutnya Pak Muslim harus membayar biaya pengecatan sebesar 30 % dari seluruh biaya setelah pemotongan. Toko memberikan tanda pembayaran sebagai berikut:
1 lembar tripleks @ Rp 125000                                 Rp 125.000
3xpemotongan @ 3500                                             Rp   10.500 +
Subtotal                                                                     Rp 135.000
Pengecatan                                                                 Rp   40.650
Total                                                                           Rp 176.150

Pak Musllim mengatakan biaya tersebut salah. Manakah yang salah?
Jawaban siswa 1: Kesalahan terletak pada biaya pemotongan. Diperlukan hanya 2x pemotongan untuk mendapat 3 bagian yang sama. Sehingga biaya pemotongan hanya Rp 7000. Total biaya kelebihan Rp 3500. Sehingga biaya total seharusnya 176.150-3500=172.650.
Jawaban siswa 2: Siswa lain menunjuk kesalahan lainnya.  Karena biaya pengecatan tergantung pada subtotal yang tergantung pada harga triplex dan ongkos pemotongan, maka biaya total akan lebih kecil daripada Rp 172.650.  Dengan demikian siswa tidak hanya menggunakan keterampilan kritis tetapi juga menggunakan keterampilan kreatifnya.

4. Apakah yang akan dilakukan?
Pertanyaan ini diajukan untuk merangsang keterampilan berfikir kritis.  Setelah menjawab pertanyaan, siswa dihadapkan pada situasi untuk mengambil keputusan.  Keputusan ini dapat didasarkan pada ide pribadi, pengalaman pribadi, atau apa saja sesuai keinginan siswa.  Akan tetapi siswa harus menjelaskan konsep matematika yang mendasari keputusan tersebut.  Penjelasan ini dapat dalam bentuk kalimat tertulis sehingga memberi kesempatan pada siswa untuk berlatih keterampilan komunikasinya.

Kesimpulan
Pada dasarnya semua soal dapat digunakan untuk mengembangkan keterampilan berfikir kritis dan kreatif.  Yang dibutuhkan adalah keinginan dan komitmen untuk membantu siswa mengembangkan keterampilan berfikir tinggi siswa.  Selain itu dibutuhkan juga keyakinan bahwa keterampilan di atas dapat diajarkan kepada semua siswa di setiap tingkatan.  Dengan keinginan, komitmen dan keyakinan ini, kita sebagai guru akan mencapai tujuan yang diharapkan.

Sumber:
Idris Harta. Pertanyaan-Pertanyaan Inovatif untuk Meningkatkan Keterampilan Berfikir Tingkat Tinggi.

Wednesday, October 3, 2012

SEJARAH FILSAFAT (Refleksi Perkuliahan 3)

Secara hisoris kelahiran dan perkembangan pemikiran Yunani Kuno (sistem berpikir) tidak dapat dilepaskan dari keberadaan kelahiran dan perkembangan filsafat, dalam hal ini adalah sejarah filsafat.

A. Filsafat Beraliran Tetap (Tesis)
Tokoh-tokoh dalam filsafat beraliran tetap antara lain:
1. Parmenides (540 – 470 SM)
Parmenides adalah seorang filsuf mazhab Elea. Di dalam Mazhab Elea, Parmenides merupakan tokoh yang paling terkenal. Pemikiran filsafatnya bertentangan dengan Heraklitos sebab ia berpendapat bahwa sesuatu “yang ada” tidak berubah.
Parmenides menuliskan filsafatnya dalam bentuk puisi. Ada ratusan baris puisi Parmenides yang masih tersimpan hingga kini. Puisi Parmenides terdiri dari prakata dan dua bagian. Dua bagian tersebut masing-masing berjudul “Jalan Kebenaran” dan “Jalan Pendapat”. Bagian prakata dan “Jalan Kebenaran” tersimpan 111 ayat, sedangkan bagian kedua, “Jalan Pengetahuan”, tersimpan sebanyak 42 ayat.
Inti utama dari “Jalan Kebenaran” adalah keyakinan bahwa “hanya ‘yang ada’ itu ada”. Menurut Parmenides, “yang ada” adalah kebenaran yang tidak mungkin disangkal. Bila ada yang menyangkalnya, maka ia akan jatuh pada kontradiksi. Hal itu dapat dijelaskan melalui pengandaian Permenides. Pertama, orang dapat mengatakan bahwa “yang ada” itu tidak ada. Kedua, orang dapat mengatakan bahwa “yang ada” dan “yang tidak ada” itu bersama-sama ada. Pengandaian pertama mustahil, sebab “yang tidak ada” tidak dapat dipikirkan dan tidak dapat dibicarakan. Pengandaian kedua merupakan pandangan dari Heraklitos, juga mustahil, sebab pengandaian kedua menerima pengandaian pertama, padahal pengandaian pertama terbukti mustahil. Kesimpulannya adalah “Yang tidak ada” itu tidak ada, sehingga hanya “yang ada” yang dapat dikatakan ada.
Misalnya seseorang menyatakan “Tuhan tidak ada”. Tuhan, yang eksistensinya ditolak orang itu sebenarnya ada, maksudnya harus diterima sebagai dia “yang ada”. Hal ini karena bila orang itu mengatakan “Tuhan itu tidak ada”, maka orang itu sudah terlebih dulu memikirkan suatu konsep tentang Tuhan. Setelah itu, konsep Tuhan yang dipikirkan orang itu disanggah oleh dirinya sendiri dengan menyantakan ‘Tuhan itu tidak ada”. Dengan demikian, Tuhan sebagai yang dipikirkan oleh orang itu “ada” walaupun hanya di dalam pikirannya sendiri. Sedangkan penolakan terhadap sesuatu, pastilah mengendalikan bahwa sesuatu itu “ada” sehingga “yang tidak ada’ itu tidak mungkin. Oleh karena “yang ada” itu selalu dapat dikatakan dan dipikirkan, sebenarnya Parmenides menyamakan “yang ada” dengan pemikiran atau akal budi.
Parmenides menyatakan konsekuensi-konsekuensinya, setelah berargumentasi mengenai “yang ada” sebagai kebenaran.
a. Pertama, “yang ada” adalah satu dan tak terbagi, sedangkan pluralitas tidak mungkin. Hal ini dikearenakan tidak ada sesuatu pun yang dapat memisahkan “yang ada”.
b. Kedua, “yang ada” tidak dijadikan dan tidak dapat dimusnahkan. Dengan kata lain, “yang ada” bersifat kekal dan tak terubahkan. Hal itu merupakan konsekuensi logis, sebab bila “yang ada” dapat berubah, maka “yang ada” dapat menjadi tidak ada atau “yang tidak ada” dapat menjadi ada.
c. Ketiga, harus dikatakan bahwa “yang ada” itu sempurna, seperti sebuah bola yang jaraknya dari pusat ke permukaan semuanya sama. Merurut Parmenides, “yang ada” itu bulat sehingga mengisi semua tempat.
d. Keempat, karena “yang ada” mengisi semua empat, maka disimpulkan bahwa tidak ada ruang kosong. Jika ada ruang kosong, artinya menerima bahwa di luar “yang ada” masih ada sesuatu yang lain. Konsekuensi lainnya adalah gerak menjadi tidak mungkin sebab bila benda bergerak artinya benda menduduki tempat yang tadinya kosong.
Pemikiran Parmenides membuka babak baru dalam sejarah filsafat Yunani. Dapat dikatakan, dialah penemu merafisika, cabang filsafat yang menyelidiki “yang ada”. Filsafat di masa selanjutnya akan bergumul dengan masalah-masalah yang dikemukakan Parmenides, yakni bagaimana pemikiran atau rasio dicocokkan dengan data-data inderawi. Plato dan Aristeteles adalah filsuf-filsuf yang memberikan pemecahan untuk masalah-masalah tersebut.

2.  Plato (427– 347 SM)
Plato adalah seorang filsuf dan matematikawan Yunan, dan pendiri Akademi Platonik di Athena, sekolah tinggi pertama di dunia Barat. Ia adalah murid Socrates. Plato adalah guru dari Aristoteles.
Plato mendukung ajaran Parmenides yang menganggap segala sesuatu itu tetap. Namun, plato juga memiliki paham Idealisme yaitu paham filsafat yang memandang mental dan ideal sebagai kunci ke hakikat realitas. Paham idealisme lebih menekankan hal-hal bersifat ide, dan merendahkan hal-hal yang bersifat materi dan fisik. Ajaran Plato mengenai ide ada dua, yaitu:
a. Dunia ide-ide yang hanya terbuka bagi rasio (Dunia Rasional/Dunia Rohani)
Dalam dunia ini tidak ada perubahan, semua ide bersifat abadi dan tidak dapat diubah. Hanya ada satu ide “yang bagus”, “yang indah”. Di dunia ide semuanya sangat sempurna. Hal ini tidak hanya merujuk kepada barang-barang kasar yang bisa dipegang saja, tetapi juga mengenai konsep-konsep pikiran, hasil buah intelektual.

b. Dunia jasmani yang hanya terbuka bagi panca indera (Dunia Indrawi).
Dunia indrawi adalah dunia yang mencakup benda-benda jasmani yang konkret, yang dapat dirasakan oleh panca indera kita. Dunia indrawi ini tiada lain hanyalah refleksi (bayangan) dari dunia ideal. Selalu terjadi perubahan dalam dunia indrawi. Segala sesuatu yang terdapat dalam dunia jasmani ini fana, dapat rusak, dan dapat mati.

3.  Rene Descartes (1596 – 1650)
Descartes, kadang dipanggil “Penemu Filsafat Modern” dan “Bapak Matematika Modern”, adalah salah satu pemikir paling penting dan berpengearuh dalam sejarah barat modern. Pemikirannya membuat sebuah revolusi falsafi di Eropa karena pendapatnya yang revolusioner bahwa semuanya tidak ada yang pasti, kecuali kenyataan bahwa seseorang bisa berpikir. Dalam bahasa Latin, kalimat ini adalah: cogito ergo sum, dalam bahasa Perancis: Je pense donc je suis, sedangkan dalam bahasa Inggris: I think, therefore I am, yang ketiganya memiliki arti: “Aku berpikir maka aku ada”,
Pahamnya yang terkenal adalah Analityc Apriori dengan unsur dasarnya adalah konsisten dan dasar hukumnya adalah Identitas. Karya filsafat Descartes dapat dipahami dalam bingkai konteks pemikiran pada masanya, yakni adanya pertentangan antara Scholasticism dengan keilmuan baru Galilean-Copernican. Atas dasar tersebut ia dengan misi filsafatnya berusaha mendapatkan pengetahuan yang tidak dapat diragukan. Metodenya ialah dengan meragukan semua pengetahuan yang ada, yang kemudian mengentarkannya kepada kesimpulan bahwa pengetahuan yang ia kategorikan ke dalam tiga bagian dapat diragukan, yaitu:
a.  Pengetahuan yang berasal dari pengalaman indrawi dapat diragukan, misalnya ketika memasukkan kayu lurus ke dalam air, maka kayu akan terlihat bengkok.
b. Fakta umum tentang dunia, misalnya api itu panas dan benda yang berat akan jatuh juga dapat diragukan. Descrates menyatakan bagaimana jika kita mengalami mimpi yang sama berkali-kali dan dari situ kita mendapatkan pengetahuan umum tersebut.
c. Logika dan matematika, prinsip-prinsip logika dan matematika juga ia ragukan. Ia menyatakan bagaimana jika ada suatu mahluk yang berkuasa memasukkan ilusi dalam pikiran kita, dengan kata lain kita berada dalam suatu matriks.
Dari keraguan tersebut, Descartes mencari pengetahuan yang tidak dapat diragukan. Baginya eksistensi pikiran manusia adalah sesuatu yang absolut dan tidak dapat diragukan. Sebab meskipun pemikirannya tentang sesuatu yang salah, pikirannya tertipu oleh suatu matriks, ia ragu akan segalanya, tidak dapat diragukan lagi bahwa pikiran itu sendiri eksis (ada). Pikiran sendiri bagi Descartes ialah suatu benda berpikir yang bersifat mental (res cogitans) bukan bersifat fisik atau material. Dari prinsip awal bahwa pikiran itu eksis, Descartes melanjutkan filsafatnya untuk membuktikan bahwa Tuhan dan benda-benda itu ada.
Filsafat Descartes membuktikan bahwa Tuhan itu ada dan kemudian membuktikan bahwa benda material ada. Descartes mendasarkan akan adanya Tuhan pada prinsip bahwa sebab harus lebih besar, sempurna, baik dari akibat. Dalam piiran Descrates ia memiliki suatu gagasan tentang Tuhan adalah suatu mahluk sempurna yang tek terhingga. Gagasan tersebut tidak mungkin disebabkan oleh pengalaman dan pikiran diri sendiri, karena kedua hal tersebut merupakan sesuatu yang tidak sempurna dan dapat diragukan sehingga tidak memenuhi prinsip sebab lebih sempurna dari akibat. Gagasan tentang Tuhan yang ada dalam kepala (sebagai akibat) hanya bisa disebabkan oleh sebuah mahluk sempurna yang menaruhnya dalam pikiran saya, yakni Tuhan
Setelah membuktikan eksistensi Tuhan, Descartes membuktikan eksistensi benda material. Ia menyatakan bahwa Tuhan menciptakan manusia dengan ketidakmampuan duntuk membuktikan bahwa benda maerial itu sejatinya tidak ada. Bahkan Tuhan menciptakan manusia untuk memiliki kecenderungan pemahaman bahwa benda material itu eksis. Apabila pemahaman benda material eksis hanya merupakan sebuah matriks kompleks yang menipu pikiran manusia, itu berarti Tuhan adalah penipu, dan bagi Descartes penipu adalah ketidaksempurnaan. Padahal Tuhan ialah mahluk yang sempurna, oleh karena itu, Tuhan tidak mungkin menipu, sehingga benda material itu pastilah ada.

B. Filsafat Beraliran Berubah (Antitesis)
Tokoh-tokoh pada aliran ini antara lain:
1.  Herakleitos (540 – 480 SM)
Herakleitos adalah seorang filsuf yang tidak tergolong mazhab apapun.Di dalam tulisannya, ia justru mengkritik dan mencela para filsuf dan tokoh-tokoh seperti Homerus, Arkhilokhos, Hesiodos, Phythagoras, Xenophanes, dan Hekataios.
Pemikiran Herakleitos yang paling terkenal adalah mengenai perubahan-perubahan di alam semesta. Menurut Herakleitos, tidak ada satu pun hal di alam semseta yang bersifat tetap atau permanen. Tidak ada sesuatu yang berul-betul “ada”, semuanya berada di dalam proses “menjadi”. Ia terkenal dengan ucapannya panta rhei kai uden menei yang berarti, “semuanya mengalir dan tidak ada sesuatupun yang tinggal tetap.
Perubahan yang tidak ada henti-hentinya itu dibayangkan Herakleitos denan dua cara:
·           Pertama, seluruh kenyataan adalah seperti aliran sungai yang mengalir. “Engkau tidak dapat turun daua kali ke sungai yang sama”,deikian kata Herakleitos. Maksudnya di sini, air sungai selalu bergerak sehingga tidak pernah seseorang turun di air sungai yang sama dengan yang sebelumnya.
·           Kedua, ia menggambarkan seluruh kenyataan dengan api. Maksud api di sini lain dengan konsep mazhab Miletos yang menjadikan air atau udara sebagai prinsip dasar segala sesuatu. Bagi Herakleitos, api bukanlah zat yang dapat menerangkan perubahan-perubahan segala sesuatu, melainkan melambangkan gerak perubahan itu sendiri. Api senantiasa mengubah apa saja yag dibakarnya menjadi abu dan asap, namun api tetaplah api yang sama. Karena itu, api cocok untuk melambangkan kesatuan dalam perubahan.

2.  Aristoteles (384 – 322 SM)
Aristoteles adalah seorang filsuf Yunani, murid dari Plato dan guru dari Alexander yang Agung. Ia menulis berbagai subyek yang berbeda, termasuk fisika, metafisika, puisi, logika, retorika, politik, pemerintahan, etnis, biologi dan zoologi. Bersama dengan Socrates dan Plato, ia dianggap menjadi seorang di antara tiga orang filsuf yang paling berpengaruh di pemikiran Barat.
Aristoteles memiliki paham Realis yaitu paham bahwa hakekat suatu benda itu bukan terletak pada ide/pikiran melainkan pada obyek nyata benda itu sendiri  (pendapat ini sangat berlawanan dengan Plato).
Ajaran Aristoteles juga telah mengarah pada pengakuan adanya TUHAN. Menurut Aristoteles, suatu gerakan atau proses perkembangan dalam jagad raya tidak mempunyai awal dan akhir dalam waktu maka alam semesta abadi sifatnya. Namun, karena sesuatu yang bergerak itu digerakkan oleh penggerak yang lain, perlu diterima satu Penggerak Pertama yang tidak digerakkan oleh Penggerak lain, yaitu TUHAN.
Aristoteles juga membagi cabang ilmu menjadi 3 bagian, yaitu :
a.         Ilmu Pengetahuan Praktis (Etika dan Ilmu Politik)
b.        Ilmu Pengetahuan Produktif menyangkut pengetahuan yang sanggup menghasilkan suatu karya/produk jadi (ilmu teknik, kesenian)
c.         Ilmu Pengetahuan Teoritis (Fisika, Matematika, dan Metafisika (yang telah disebutkan di atas).
Namun, di luar ketiga pengetahuan di atas, masih ada Logika (Penalaran Tepat). Ajaran Logika Aristoteles yang sampai sekarang masih digunakan adalah ajaran mengenai Induksi, Deduksi, dan Silogisme. Induksi adalah metode pemikiran yang menghasilkan pengetahuan tentang yang umum dengan bertolak dari hal-hal khusus, sedangkan Deduksi adalah sebaliknya yakni metode pemikiran yang khusus dengan bertitik tolak dari hal umum, Salah satu contoh dari Metode Deduksi adalah Silogisme, yakni pengambilan kesimpulan berdasarkan dua pernyataan yang telah diberitahukan sebelumnya. Misalnya :
Premis Mayor : Semua manusia akan mati
Premis Minor : Budi adalah seorang manusia
Kesimpulan    : Maka Budi akan mati
Aristoteles dikenal sebagai Bapak Ilmu Pengetahuan karena merupakan Filsuf pertama yang mengajarkan tentang rasionalitas ilmu pengetahuan dan dasar-dasar pemikirannya hingga saat ini masih terus digunakan dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan.

3.  David Hume (1711-1776)
Hume merupakan filsuf besar pertama dari era modern yang membuat filosofi naturalistis. Inti ajaran David Hume pada dasarnya sama dengan Aristoteles yaitu menekankan pada Berpikir (ide). Akan tetapi, teori Berpikir ala David Hume berdasarkan pada suatu pengalaman seseorang yang disebut teori Empiricism dengan unsur dasar Synthetic Aposteriori (bisa berpikir kalau sudah melihat). Synthetic Aposteriori berlawanan arah dengan Analytic Apriori atau bisa dikatakan bahwa pendapat David Hume berlawanan dengan Rene Descartes.
Aliran Empiris adalah aliran yang berpandangan bahwa pengetahuan secara keseluruhan/parsial didasarkan kepada pengalaman yang menggunakan indera. Secara terminologis, Empirisme adalah doktrin bahwa sumber seluruh pengetahuan harus dicari dalam pengalaman, pandangan bahwa semua ide merupakan abstraksi yang dibentuk dengan menggabungkan apa yang dialami, pengalaman indrawi adalah satu-satunya sumber pengetahuan, dan bukan akal. Aliran ini memegang teguh prinsip bahwa pengetahuan manusia dapat diperoleh lewat pengalaman, misalnya : “Mengapa kita takut jika masuk ke dalam kandang Harimau?” karena Harimau adalah binatang buas dan berbahaya (pengalaman menurut seseorang yang pernah diterkam Harimau atau pengalaman seseorang yang pernah bertemu dengan Harimau).
David Hume juga sebagai penggagas Ruang dan Waktu dalam Filsafat. Gagasan mengenai waktu berasal dari urutan kesan terhadap suatu hal. Misalnya kita melihat buah mangga jatuh dari pohon yang asalnya berada pada dahan, lalu buah itu jatuh di atas tanah. Pada saat itu kita melihat ada urutan kesan waktu mengenai buah mangga (pada mulanya) dan kemudian berada di atas tanah. Pada saat itulah gagasan mengenai waktu terbentuk dalam imajinasi kita. Gagasan mengenai ruang berkaitan dengan luas (ukuran). Ide ruang dihasilkan oleh indra penglihatan dan penyentuh. Ketika kamu melihat mangga jatuh dibawah pohon sana, kesan kamu mengatakan bahwa mangga itu benar-benar ada. Pada saat itulah imajinasi kita menemukan gagasan mengenai ada di sana itulah ruang. Lewat dua pendapat di atas, Hume menentang semua pikiran dan gagasan yang tidak dapat dilacak dengan persepsi indera.
Diantara perjalanan Filsafat Aliran Tetap dan Filsafat Aliran Berubah, lahir beberapa temuan dan paradigma baru dalam bidang ilmu yang tokoh-tokohnya meliputi : Nicolaus Copernicus (pahamnya Heliocentris yaitu : Menetapkan matahari sebagai pusat Tata Surya (bukan bumi)), Galileo Galilei (penemu Hukum Gerak dan Kecepatan), Newton (penemu Hukum Alam dan Titik Didih Air) dan masih banyak lagi lainnya dimana beberapa ilmuwan berikut mematahkan pendapat kuno dari Gereja (Zaman Kegelapan) yang beranggapan tentang mitos-mitos dewa-dewa dan menganggap “Bumi sebagai pusat dari tata surya”.
Dari pertentangan antara paham Rene Descartes dan David Hume yang terlihat dari filsafat aliran tetap dan aliran berubah di atas, Immanuel Kant mencoba untuk mensintesiskan keduanya sehingga membentuk suatu paham Synthetic Apriori yaitu Filsafat Lengkap berdasarkan gabungan antara Synthetic Aposteriori dengan Analytic Apriori. Inti paham Immanuel Kant dikenal dengan Kritisisme atau Filsafat Kritis, suatu nama yang diberikannya sendiri. Kritisisme adalah filsafat yang memulai perjalanannya dengan terlebih dulu menyelidiki kemampuan rasio dan batas-batasnya. Kritisisme terdiri atas 3 bagian, yaitu :
1)      Kritik atas Rasio Murni
Dalam kritik ini, antara lain Kant menjelaskan bahwa ciri pengetahuan adalah bersifat umum, mutlak dan memberi pengertian baru. Untuk itu ia terlebih dulu membedakan adanya tiga macam putusan. Pertama, putusan analitis a priori; di mana predikat tidak menambah sesuatu yang baru pada subjek, karena sudah termuat di dalamnya (misalnya, setiap benda menempati ruang). Kedua, putusan sintesis aposteriori, misalnya pernyataan “meja itu bagus” di sini predikat dihubungkan dengan subjek berdasarkan pengalaman indrawi, karena dinyatakan setelah mempunyai pengalaman dengan aneka ragam meja yang pernah diketahui. Ketiga, putusan sintesis a priori: di sini dipakai sebagai suatu sumber pengetahuan yang kendati bersifat sintetis, namun bersifat a priori juga. Misalnya, putusan yang berbunyi “segala kejadian mempunyai sebabnya”. Putusan ini berlaku umum dan mutlak (jadi a priori), namun putusan ini juga bersifat sintetis dan aposteriori. Sebab di dalam pengertian “kejadian” belum dengan sendirinya tersirat pengertian “sebab”. Maka di sini baik akal maupun pengalaman indrawi dibutuhkan serentak. Ilmu pasti, mekanika, dan ilmu pengetahuan alam disusun atas putusan sisntetis yang bersifat a priori ini. Menurut Kant, putusan jenis ketiga inilah syarat dasar bagi apa yang disebut pengetahuan (ilmiah) dipenuhi, yakni bersifat umum dan mutlak serta memberi pengetahuan baru. Persoalannya adalah bagaimana terjadinya pengetahuan yang demikian itu?. Menjawab pertanyaan ini Kant menjelaskan bahwa pengetahuan itu merupakan sintesis dari unsur-unsur yang ada sebelum pengalaman yakni unsur-unsur a priori dengan unsur-unsur yang ada setelah pengalaman yakni unsur-unsur aposteriori. Proses sintesis itu, menurut Kant terjadi dalam tiga tingkatan pengetahuan manusia yaitu pencerahan indrawi (sinneswahrnehmung), lalu tingkat akal budi (verstand), dan tingkat tertinggi adalah tingkat rasio/intelek (Versnunft).

2)      Kritik atas Rasio Praktis
Apabila kritik atas rasio murni memberikan penjelasan tentang syarat-syarat umum dan mutlak bagi  pengetahuan manusia, maka dalam “kritik atas rasio praktis” yang dipersoalkan adalah syarat-syarat umum dan mutlak bagi  perbuatan susila. Kant coba memperlihatkan bahwa syarat-syarat umum yang berupa bentuk (form) perbuatan dalam kesadaran itu tampil dalam perintah (imperatif). Kesadaran demikian ini disebut dengan “otonomi rasio praktis” (yang dilawankan dengan heteronomi). Perintah tersebut dapat tampil dalam kesadaran dengan dua cara, subyektif dan obyektif. Maxime (aturan pokok) adalah pedoman subyektif bagi perbuatan orang perseorang (individu), sedangkan imperatif (perintah) merupakan azas kesadaran obyektif yang mendorong kehendak untuk melakukan perbuatan. Imperatif berlaku umum dan niscaya, meskipun ia dapat berlaku dengan bersyarat (hepotetik) atau dapat juga tanpa syarat (kategorik). Imperatif kategorik tidak mempunyai isi tertentu apapun, ia merupakan kelayakan formal. Menurut Kant, perbuatan susila adalah perbuatan yang bersumber pada kewajiban dengan penuh keinsyafan. Keinsyafan terhadap kewajiban merupakan sikap hormat (achtung). Sikap inilah penggerak sesungguhnya perbuatan manusia.
3)      Kritik atas Daya Pertimbangan
Konsekuensi dari “kritik atas rasio murni” dan “kritik atas rasio praktis” menimbulkan adanya dua kawasan tersendiri, yaitu kawasan kaperluan mutlak di bidang alam dan kawasan kebebasan di bidang tingkah laku manusia. Adanya dua kawasan itu, tidak berarti bertentangan atau dalam tingkatan. Kritik atas Daya Pertimbangan (Kritik der Urteilskraft), dimaksukkan oleh Kant, adalah mengerti persesuaian kedua kawasan itu. Hal itu terjadi dengan menggunakan konsep finalitas (tujuan). Finalitas bisa bersifat subjektif dan objektif. Kalau finalitas bersifat subjektif, manusia mengarahkan objek pada diri manusia sendiri. Inilah yang terjadi dalam pengalaman estetis (kesenian). Dengan finalitas yang bersifat objektif dimaksudkan keselarasan satu sama lain dari benda-benda alam.


C. Filsafat Modern
Tokohnya adalah Augusta Comte dengan aliran Positivisme. Aliran ini sebagai antitesis Filsafat Yunani yaitu mengembangkan keilmuan yang telah ada sebelumnya. Penjelasan Comte tentang filosofi yang positif memperkenalkan hubungan yang penting antara teori, praktik dan pemahaman manusia dunia. Comte merumuskan Hukum Tiga Fase, yaitu : Teologi, Metafisika, dan tahap positif (atau sering juga disebut "tahap ilmiah").
Fase Teologi dilihat dari prespektif abad ke-19 sebagai permulaan abad pencerahan, dimana kedudukan seorang manusia dalam masyarakat dan pembatasan norma dan nilai manusia didapatkan didasari pada perintah Tuhan. Meskipun memiliki sebutan yang sama, fase Metafisika Comte sangat berbeda dengan teori Metafisika yang dikemukakan oleh Aristoteles atau ilmuwan Yunani kuno lainnya; pemikiran Comte berakar pada permasalahan masyarakat Perancis pasca Revolusi Perancis. Fase Metafisika ini merupakan justifikasi dari "hak universal" sebagai hak pada suatu wahana yang lebih tinggi dibanding otoritas tentang segala penguasa manusia untuk membatalkan perintah lalu hak/ kebenaran tidaklah disesuaikan kepada yang suci di luar semata-mata kiasan. Apa yang ia mengumumkan dengan istilah nya. Tahap yang ilmiah, Comte mengembangkan ilmu sosiologi (pasca revolusi perancis).

Sumber :
Acton, HB., Kant’s Moral Philosophy, London, MacMillan, 1970
Bertens, K., Ringkasan Sejarah filsafat, Yogyakarta, Kanisius, 1998/v
Copleston, Frederick, A History of Philosophy, Vol. VI, London,  Search Press, 1960
Mudyahardjo, Drs.Redja. 2002. Filsafat Ilmu Pendidikan (Suatu Pengantar). Bandung : Remaja Rosdakarya